THOLABUL ‘ILMI (MENCARI ILMU)
oleh: Ust. Achmad Rofi’i, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Tema kajian kita kali ini akan membahas tentang Tholabul’Ilmi (Mencari Ilmu atau menuntut Ilmu).
Tholabul ‘Ilmi artinya
mencari Ilmu karena mengharap ridho dan cinta kepada Allooh سبحانه
وتعالى. Perbuatan itu akan menyampaikan seseorang kepada Surga Allooh
سبحانه وتعالى.
Namun ada beberapa perkara yang harus kita pahami dengan benar, agar jelas benar tentang hal itu.
- Apa yang dimaksud dengan ‘Ilmu.
- Apa urgensi menuntut ‘Ilmu.
- Apa keutamaan menuntut ‘Ilmu.
- Apa cabang dari ‘Ilmu Syar’i.
Itulah beberapa perkara yang harus kita pahami.
1. Apa yang dimaksud dengan ‘Ilmu.
Al ‘Ilmu menurut para ‘Ulama berasal dari kata ‘Alima – Ya’lamu – ‘Ilman. Maknanya adalah : Ma’rifah wal idrook, dalam bahasa Indonesia: Pengetahuan.
Di Indonesia disebut Ilmu Pengetahuan, lalu
seolah-olah diartikan Ilmu yang berseberangan dengan Ilmu Dien (Islam).
Lalu dilengkapi sebutannya menjadi : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK). Padahal sesungguhnya kata “Pengetahuan” itu sendiri adalah
pengertian (definisi) secara etimologis (kebahasaan) dari kata “Ilmu”.
Jadi “Ilmu” dalam bahasa Arab, bahasa Indonesianya adalah: Pengetahuan.
Lalu akhirnya menjadi Ilmu Pengetahuan, yang
maknanya bukan Ilmu Dien. Maka kalau ada orang mengatakan Ilmu
pengetahuan, maknanya: bukan Ilmu Dien.
Ada juga yang mengartikan, terutama dari kalangan para ‘Ulama Ushul Fiqih, bahwa yang dimaksud dengan “Ilmu” adalah :
إدراك الشيئ على ما هو عليه إدراكا جازما
Artinya:
“Pengetahuan tentang sesuatu diatas fakta dan data, secara pasti”.
Itulah yang disebut ‘Ilmu.
Dengan demikan, kalau kita telusuri, maka yang disebut dengan Jazim (pasti) adalah ‘Ilmu Syar’i.
Sedangkan Ilmu dunia itu tidak pasti.
Tentang Ilmu Fisika, Ilmu matematika dll, tidak ada yang pasti. Mungkin
pasti, menurut manusia. Padahal kepastian jangan hanya dipandang dari
sisi manusia. Yang disebut pasti adalah jika menurut Allooh سبحانه
وتعالى pasti.
Yang disebut dengan pasti adalah Ilmu Dien
(Islam). Karena yang memastikannya adalah Pencipta (Allooh سبحانه
وتعالى), dan dasarnya pasti. Misalnya: Al Qur’an sejak 1428 tahun lalu
begitu-begitu saja, tidak ada perubahan. Sampai pada hari Kiamat akan
begitu, tidak berubah. Demikian pula Al Hadits, tidak berubah.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sejak 1428 yang lalu telah bersabda,
telah menggariskan Sunnah kepada kita, dan sabda beliau :
ولو تركتم سنة يبيكم لضللتم
Artinya:
“Kalau kalian meninggalkan sunnahku ini kalian pasti celaka”.
Seperti yang kita alami pada zaman sekarang, adalah merupakan kepastian yang berdasarkan pada wahyu. Rumusnya: Maksiat pasti mengundang murka Allooh سبحانه وتعالى, atau dengan kata lain: Maksiat pasti mendatangkan petaka.
Dalilnya adalah sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dalam Hadits, dan Hadits ini sudah disampaikan sejak 1428 tahun lalu.
Hadits:
” عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : في هذه الأمة خسف ومسخ وقذف إذا ظهرت القينات والمعازف وشربت الخمور”
Artinya:
Dari Imron Ibnu Husain رضي الله عنه. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda : “Pada umat ini akan terjadi Khosfun (Tanah ambles, runtuh, longsor), Maskhun (permukaan bumi hancur berantakan), Qodzfun (Allooh
lempari dari atas — hujan deras sekali, angin topan, dilempari dengan
batu yang berasal dari Sijjil), jika muncul/ nampak nyata budak-budak
wanita dan budak-budak laki-laki yang menyanyi”.
Hadits Shohiih diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah dan Imam Ahmad, dishohiihkan oleh
Nashiruddin Al Albaany.
Maksudnya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Jika sudah muncul para penyanyi dari kalangan laki-laki dan
perempuan, maka di bumi ini akan terjadi Khosfun (tanah runtuh, longsor), Maskhun (permukaan bumi hancur berantakan) dan Qodzfun (Hujan lebat, angin topan, puting beliung, atau kerikil panas seperti zaman Abrahah yang menyerang Mekkah).
Al qiyan, para ulama antara lain Ibnul ‘Atsiir dalam Kitab An Nihayah fi Ghoriibil Hadits, mengartikan: Laki-laki dan wanita yang menyanyi.
Al ma’azif (jamak),
tunggalnya adalah ma’zaf, artinya apa saja yang dipukul, alat musik yang
dipukul. Dalam Hadits Shohiihul Bukhoory, bahwa umat ini akan
menghalalkan musik. Jadi musik itu hukum asalnya adalah haram.
Atau makna kedua, para ‘ulama mengartikan bahwa Al Ma’azif adalah setiap apa saja yang disebut permainan (sekarang: Game).
Suribat, artinya apa yang diminum. Yang diminum adalah Al Khumur, jamak dari kata Khomrun (Khamer, minuman keras).
Hadits tersebut adalah wahyu, dan itu adalah
kepastian dari Allooh سبحانه وتعالى. Lebih pasti daripada matematika.
Oleh karena itu, kita sebagai muslim hendaknya melakukan istrospeksi.
Bahwa sebenarnya maksiat itu mendatangkan petaka.
Banyak orang mengaku dirinya muslim tetapi
ia tidak sadar, lalai, bahwa ia melaku-kan sesuatu yang mungkin itu
suatu perbuatan yang olehnya disebutkan: “Tidak mengapa, halal-halal
saja”, tetapi ternyata yang demikian telah mengundang murka Allooh
سبحانه وتعالى.
Maka bila sekarang kita sudah tahu, kewajiban kita adalah: Hendaknya kita memberanikan diri untuk melaksanakan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Kalau ada orang yang melakukan maksiat, jangan lalu anda mengatakan: “Untuk mencegah ini bukan kewajiban saya, melainkan kewajiban Ustad !”.
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mengajarkan,
siapa saja dari kita yang melihat, menyaksikan kemungkaran diperbuat
oleh seseorang, kita harus bangkit semangat untuk mencegah, memberantas
yang Munkar. Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Artinya:
“Barangsiapa dari kalian yang melihat kemungkaran, maka ingkarilah kemungkaran itu dengan lisan kalau tidak bisa dengan tenaga, dan ingkarilah dengan hati kalau tidak bisa dengan tenaga maupun lisan, dan itu adalah selemah-lemah iman”.
Apakah kita akan lemah terus-menerus? Kapan
kita kuat? Untuk kuat perlu latihan. Perlu kerja keras, perlu tega,
gigih dan pengorbanan. Karena sebenarnya kalau melakukan perbuatan yang
merupakan tuntutan iman, Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan balasan
dengan surga.
Kaum Bani Israil yang sudah musnah, mereka
itu dikutuk oleh Allooh سبحانه وتعالى karena meninggalkan Amar Ma’ruf
dan Nahi Munkar. Begitu pula merupakan Sunatullooh di alam semesta ini,
jika manusia senang melakukan kemungkaran, menyalahi apa yang menjadi
pedoman Allooh سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya, yang diperintahkan
ditinggalkan, yang dilarang bahkan dilakukan, itu berarti manusia telah
menentang Allooh سبحانه وتعالى dan mengumbar hawa-nafsunya.
Seperti dikatakan diatas bahwa Ilmu adalah
pasti. Disebut pasti karena Ilmu adalah dari Allooh سبحانه وتعالى dan
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, itulah Al Qur’an dan Sunnah
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Sedangkan akal manusia tidak pasti.
Karena intelektual seseorang itu berbeda dengan orang yang lainnya.
Bahkan dari zaman ke zaman berubah. Apalagi ilmu-ilmu yang berkenaan
dengan masalah statistik, sosiologi, kultur, yang semakin hari semakin
berkembang dan berubah, maka berubah pula lah pola-pikir manusia,
demikian pula peradaban manusia berubah. Kalau begitu, manusia akan
berubah dan disebut dinamis karena ia selalu beradaptasi dengan apa yang
ada di lingkungannya.
Sementara Al Islam adalah statis. Kata Imam Malik:
ما لم يكن يومئذ دينا لا يكون دينا
Artinya:
“Perkara yang tidak pernah merupakan bagian dari syari’at Allooh سبحانه وتعالى pada masa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hidup, tidak akan dan tidak boleh menjadi bagian dari Dien, sampai kapanpun”.
Berarti statis. Apa yang kita bahas
sekarang harus mendasarkan dari apa yang berasal dari Rosuulullooh صلى
الله عليه وسلم. Kalau tidak, maka itu bukan ilmu.
Kata Imam Al ‘Auzaa’i:
العلم ما جاء به أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم فما كان غير ذلك فليس بعلم
Artinya:
“Ilmu itu adalah apa saja yang dibawakan para sahabat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.”
Maka apa saja yang tidak (bukan) dibawakan oleh para sahabat, itu bukan ilmu. (Bahasa kasarnya: Omong kosong).
Yang dibawa oleh para sahabat adalah :
- Al Qur’an, karena mereka terima langsung dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
- As Sunnah, karena mereka dididik langsung oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, mereka melihat, mendengar, menyaksikan, melaksanakan, mereka perjuangkan bahkan membela Sunnah tersebut.
- Ijma’, ialah apa yang mereka pahami dari Al Qur’an, dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, lalu mereka sepakati sebagai suatu ajaran. Baik dengan terang-terangan yang lalu disebut Ijmaa’un Shorihun, atau Ijmaa’un Sukutiyun karena sekelompok sahabat mempunyai sikap tertentu lalu sahabat yang lain tidak mengingkarinya.
- Ijtihad dan Fatwa para sahabat. Dan yang demikian itu telah ditulis oleh salah satu rujukan Ahlussunnah wal Jamaah, kitabnya disebut Al Muwaththo’, ditulis oleh Imam Malik bin Anas.
Kitab Muwaththo’ adalah
rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Orang yang tidak merujuk pada Kitab Al
Muwaththo’ bisa disebut bukan Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kitab-kitab rujukan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
- Shohiih Bukhoory,
- Shohiih Muslim,
- Sunan Abi Dawud,
- Sunan Turmudzi,
- Sunan An Nasaa’i,
- Sunan Ibnu Majah,
- Sunan Ad Darimi,
- Musnad Imam Ahmad bin Hambal,
- Muwaththo’ Imam Malik.
Itulah yang dibawakan oleh para sahabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Maka bila kita memahaminya, itulah yang disebut Ilmu.
Setelah kita ketahui bahwa Ilmu adalah Al
Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad serta Fatwa para sahabat seperti
tersebut diatas, maka kita hendaknya berpegang teguh padanya, dan kalau
kita ingin berilmu hendaknya kita pahami dan kita jabarkan serta kita
laksanakan.
Urgensi menuntut Ilmu.
Ada empat sebab mengapa kita harus menuntut Ilmu, yaitu:
1. Dengan Ilmu, maka Dien (Islam) dan dunia akan tegak.
Islam akan tegak harus dengan Ilmu.
Bagaimana seseorang bisa sholat dengan benar, kalau ia tidak punya Ilmu
yang benar. Bagaimana mungkin seseorang akan bisa berperilaku sesuai
dengan tuntunan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم kalau ia tidak tahu
tentang tuntunan itu. Bagaimana ia akan menikah (berumahtangga) sesuai
dengan ajaran Sunnah, kalau ia tidak tahu bagaimana Hukum Nikah sesuai
dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Bagaimana mungkin ia akan
ber-Muamalah, mencari nafkah dsbnya, dengan halal, kalau ia tidak tahu
halal-haram. Bagaimana ia bisa bertetangga dengan baik kalau ia tidak
tahu akhlak dan adab bertetangga? Dan semuanya itu ada dalam ajaran Al
Islam. Semuanya itu bisa berjalan dengan baik dan tegak bila didasarkan
dengan Ilmu.
2. Ilmu adalah Penangkal paham Imperialisme.
Dahulunya kaum Muslimin tidak pernah
dijajah. Ketika kaum Muslimin berpegang teguh pada Sunnah Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم, bangsa lain tidak berani sembarangan dengan Kaum
Muslimin.
Pada zaman Kholifah ‘Umar bin Khothob رضي
الله عنه. yang diutus menemui Panglima dari Persia cukup seorang
prajurit Islam. Dan Prajurit itu bisa memberikan ultimatum: “Kami datang kepada anda mengajak anda untuk masuk kepada Al Islam. Kalau anda bersedia. Kalau tidak, Anda harus membayar upeti kepada kaum Muslimin. Kalau tidak mau juga, kami tunggu tiga hari dari sekarang. Kita konfrontasi”.
Begitulah kaum Muslimin ketika itu,
berwibawa dihadapan bangsa-bangsa lain. Maka da’wah Islam semakin
menyebar ke berbagai penjuru dunia. Sampai ditulis dalam sejarah
peradaban manusia, bahwa Islam sempat menguasai dunia.
Zaman sekarang menjadi kebalikannya. Karena
kaum Muslimin sudah menjauhi dan melucuti dirinya dari tuntunan Allooh
سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Padahal bila manusia
beriman, berilmu, bertaqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى, bergantung dan
tawakal kepada Allooh سبحانه وتعالى, membela dan menolong agama Allooh
سبحانه وتعالى, maka Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan kepada mereka
kejayaan, Allooh سبحانه وتعالى berikan pertolongan. Tetapi begitu mereka
semakin jauh dari Allooh سبحانه وتعالى, semakin suka bermaksiat,
semakin tergiur dan terpedaya oleh dunia, semakin menjauhi Syari’at
Allooh سبحانه وتعالى, maka akan Allooh سبحانه وتعالى datangkan kepada
mereka kehancuran, dan juga dihina oleh orang-orang non Islam. Demikian
itu Sunatullooh. Maka kalau kita ingin jaya, kita harus ber-Ilmu. Yaitu
Ilmu yang Syar’i, yang membawa manusia dekat dengan Allooh سبحانه
وتعالى.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, kata beliau: “Ilmu adalah takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka orang yang tidak takut kepada Allooh سبحانه وتعالى
berarti ia tidak berilmu. Walaupun ia kitabnya banyak, hafalannya
banyak, terkenal dan kesohor bahwa ia ber-ilmu, kalau ia tidak takut
kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka sebenarnya ia bukan ber-ilmu”.
Karena Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya:
“Sungguh Kelompok orang dari hamba-Nya yang takut pada Allooh سبحانه وتعالى adalah para ‘Ulama”.
3. Ilmu adalah Proteksi dari Berbagai Ajaran dan Faham yang Sesat dan Menyesatkan
Pada zaman Kholifah ‘Umar bin Khoththob رضي الله عنه. hanya karena seorang shobiigh Ibnul ‘Asal,
ketika bertanya tentang Muhtasyabihat, langsung ia ditumpas oleh
beliau. Maka Ahlul Bid’ah tidak ada, tidak berkembang ketika itu.
Bukan berarti pada zaman sahabat tidak ada
maksiat dan Bid’ah. Ada, tetapi prosentasenya rendah (sedikit), dan
tidak bisa mewarnai masyarakat. Karena masyarakatnya masih kokoh,
imannya masih kuat, generasinya masih prima. Setelah generasi itu
berlalu, semakin muncul Bid’ah dan maksiat.
Maka ingatlah, bahwa semakin ke-Jahilan
menguasai, maka semakin maksiat dan perpecahan subur tumbuh di
mana-mana. Itulah yang harus kita takuti, waspadai, apalagi lalu ada
ajaran Sufi masuk, diterima oleh orang Indonesia.
Sehingga dimana-mana di Indonesia ada kelompok Dzikir, Wirid,
amalan-amalan ini-itu. Itu adalah “perkawinan” antara Sufi dan
kebatinan.
Misalnya diajarkan, bila seseorang ingin
bisa menghilang (tidak kelihatan), bisa berjalan diatas air, agar bisa
mendapat rezeki seketika tanpa kerja keras, maka lakukan amalan
ini, ini, ini, dan seterusnya. Lalu kalau tidak tercapai, orang itu
bisa gila. Lalu kelihatannya menakutkan sekali orang belajar agama itu.
Belajar agama bisa menjadi gila, dstnya.
Itulah yang membuat Islam dijadikan
traumatis. Karena ternyata Islam membuat orang menjadi gila. Lalu tidak
lagi simpati kepada Islam, karena memang caranya yang salah dan sesat.Yang demikian itu diikuti oleh banyak orang dan semakin berkembang. Karena lemahnya Ilmu.
Ada cara lain lagi, katanya kalau orang
ingin masuk surga, ikutilah dia (tokohnya), lalu disuruh menebus tanah
sekian hektar, lalu mendapat sertifikat sebagai anggota kelompok mereka,
berhak masuk surga, dan seterusnya. Anehnya yang demikian itu justru
banyak yang mau mengikutinya. Sehingga kelompok itu menjadi banyak
anggotanya, subur, hartanya banyak terkumpul, pengikutnya juga banyak,
karena mereka ingin mendapatkan “Sertifikat Surga”.
Itulah ke-Jahilan. Orang yang Jahil (tidak
ber-Ilmu), apa yang masuk datang kepada dirinya, ia tidak punya daya
tangkal, imunisasinya lemah sekali, sehingga dirinya rentan, mudah
sekali virus apa saja masuk pada dirinya. Karena tidak punya Penangkal
yang kuat. Karena tidak punya filter (penyaring) yang berupa Ilmu Al
Qur’an dan As Sunnah, maka semua yang datang kepada dirinya langsung
diterima dan diserapnya. Akhirnya ia bingung sendiri.
Kita sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah tidak
boleh bingung, asal kita yakin kepada Allooh سبحانه وتعالى dan
Rasul-Nya, dan memahami Firman Allooh سبحانه وتعالى dan Sunnah
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم sesuai dengan pemahaman para sahabat
(Ijtihad dan Fatwa mereka). Karena Al Qur’an dan Sunnah saja tidak
cukup, dalam arti: perlu pemahaman yang benar terhadap Al Qur’an dan Hadits. Memang cukup dengan AlQur’an dan Sunnah. Seperti sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
تركت فيكم شيئين لن تضلوا أبدا ما إن استعصمتم بهما
Artinya:
“Aku tinggalkan dua perkara, bila kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan pernah sesat selamanya.”
Tetapi untuk zaman sekarang perlu
pemahaman yang benar. Bagaimana Al Qur’an yang benar, bagaimana Sunnah
yang benar. Metodenya harus dari mereka yang betul-betul faham dan
pernah “mencicipi” bagaimana hidup bersama Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم. Sedangkan kalau hanya berdasarkan perasaan, saya rasa, dstnya, itu
bukan Ilmu. “Saya rasa” bukan dalil! “Saya pikir” juga bukan dalil! “Kesepakatan” juga bukan dalil! Kecuali kesepakatan para sahabat, yang merupakan Ijma’, itulah yang boleh. Tetapi “Kesepakatan kita” tidak lah boleh menjadi Ijma’ dan tidak pula boleh menjadi dalil.
Oleh karena itu siapa saja boleh berbicara,
tetapi itu boleh ditolak. Tetapi kalau yang disampaikan itu Qolalloohu,
Firman Allooh سبحانه وتعالى, dan Qola Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
seperti tersebut diatas, Hadits-Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
maka itu tidak boleh ditolak. Tidak boleh ada diantara kita yang
menolak.
Tetapi ada orang yang bila hendak tidur,
disamping tempat tidurnya dipasang lagu-lagu slow, lagu-lagu untuk
menina-bobokkan agar bisa tidur. Ia mendengarkan musik sambil tiduran.
Ia tidak tahu dan tidak faham bahwa itu merupakan “saham” yang
mempercepat turunnya murka Allooh سبحانه وتعالى. Itu Hadits Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم.
Mengapa kita harus ber-Ilmu, harus mencari
Ilmu, karena kalau Ilmu sudah didapat, kita tidak mudah terjangkit
berbagai “penyakit” hati seperti Syirik, Ghuruur, ‘Ujub, mengikuti
hawa-nafsu, Taklid, Ashobiyah, dan sebagainya.
4. Ilmu adalah Sesuatu yang Tidak
Akan Sempurna Sebagai Sesuatu Kewajiban Kecuali dengan Sesuatu Itu,
maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Kalimat itu terjemahan dari kata para ‘Ulama:
ما لا يتم به الواجب فهو واجب
Artinya:
“Sesuatu apabila tidak dapat sempurna kecuali dengannya maka dia adalah Wajib“
Contoh: Sholat lima waktu adalah wajib.
Sholat tersebut tidak sah kalau tidak didahului dengan ber-Wudhu.
Berarti Wudhu adalah penentu sahnya sholat itu.
Atau orang yang akan melaksanakan sholat itu
ber-Wudhu, tetapi Wudhunya tidak benar, maka tidak sah pula Wudhunya.
Oleh karena itu, bila ingin sholatnya sah, maka syarat sahnya sholat itu
juga harus benar. Syarat wajib sholat, antara lain: Baligh, muslim, itu
wajib. Syarat sahnya: Sudah masuk waktu, kalau belum masuk waktu maka
tidak sah sholatnya. Oleh karena itu seorang muslim harus tahu kapan
waktu-waktu sholat. Itulah Ilmu. Maka memperlajari sholat dan
waktu-waktu sholat serta syarat dan rukunnya, hukumnya wajib. Karena
akan menentukan sah dan benarnya akan sholatnya itu.
Contoh lain: Sholat harus menghadap Kiblat.
Karena kalau tidak, maka tidak sah sholatnya. Maka harus tahu mana arah
Kiblat. Kecuali kalau sudah berusaha tetapi tidak tahu arah Kiblat, atau
sebab lain yang tidak bisa diatasi, maka boleh menghadap kemana saja,
karena Allooh سبحانه وتعالى tahu mengapa tidak melakukan hal itu. Dan
seterusnya.
Itulah sebabnya mengapa orang harus mencari
(menuntut) Ilmu, di antaranya adalah karena sebab yang empat perkara
tersebut diatas.
Keutamaan Menuntut Ilmu.
Haditsnya dari Abu Huroiroh رضي الله عنه, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
Artinya:
“Barangsiapa meniti jalan, ia mencari
pada jalan itu ilmu (Ilmu Syar’i), maka balasannya adalah Allooh akan
mempermudah (dengan sebab Ilmu tadi) jalannya menuju surga”.
Maksudnya, siapa yang ingin mudah masuk surga maka lakukanlah aktivitas yang disebut Tholabul ‘Ilmi
(Mencari Ilmu). Mencari ilmu itu tidak terbatas waktu dan usia. Para
‘Ulama zaman dahulu sejak kecil sudah dihadirkan dalam Majlis Ta’lim.
Sebaliknya juga tidak ada istilah terlambat dalam menuntut Ilmu. Bahkan
banyak ‘Ulama yang baru mulai sadar untuk menuntut Ilmu setelah ia
berusia 40 tahun. Ia berjuang menuntut Ilmu dan akhirnya menjadi seorang
yang ‘Alim (ber-Ilmu).
Yang dimaksud Ilmu dalam hal ini adalah Ilmu Allooh سبحانه وتعالى. Tentang Ilmu Syar’i
dan cabang-cabangnya akan diterangkan pada lain waktu. Mudah-mudahan
kita akan selalu bergairah dan nyata beramal, hadir di Majlis Ta’lim,
tidak sia-sia. Semua itu akan dibalas oleh Allooh سبحانه وتعالى yaitu
akan masuk surga. Bahkan kalau saja ada orang ditakdirkan meninggal
ketika menuntut Ilmu, maka orang tersebut tergolong orang yang
mendapatkan Khusnul Khootimah.
Tanya-Jawab
Pertanyaan:
Mengenai definisi “Ilmu” saat ini kita telah
termakan oleh pengertian Ilmu menurut Ilmu Pengetahuan dunia, yang
dikatakan sebagai ilmu pengetahuan modern?
Sedangkan kalau kita melihat arti Ilmu dari Imam Al Auzaa’i
ternyata adalah sebagaimana diterangkan diatas. Apakah Ilmu sebagaimana
kita sebut sehari-hari ini tidak termasuk Ilmu, atau bagaimana?
Jawaban:
Ilmu yang biasa kita sebut sehari-hari, yang
bukan Ilmu dari Qolalloohu dan Qola Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم,
adalah juga Ilmu. Tetapi kata para ‘Ulama bahwa Ilmu ada yang mutlak,
yaitu Ilmu Syar’i. Sedangkan yang biasa kita sebut sehari-hari sebagai
Ilmu tenyata adalah Ilmu Muqoyat, misalnya Ilmu Hayat (Biologi). Tetapi
ada Ilmu Al Hayat, tidak sekedar sebagai Ilmu. Kata para ‘Ulama, “Kalau engkau temukan kata ‘Al ‘Ilmu’ dalam Al Qur’an atau dalam Hadits-hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka yang dimaksudkan adalah Al ‘Ilmusy Syar’i.”
Tetapi kalau di luar itu, maka harus ada sebutan di belakangnya, ilmu
apa. Misalnya: Ilmu Al Hayat, Ilmu Nafs, ‘Ilmul Hisab,‘Ilmu Fiziqoh,
‘Ilmu Tibb (Kedokteran), dstnya. Semua itu adalah ‘Ilmu Muqoyat.
Dalilnya dari mana? Yang mengatakan demikian adalah Syaikh Al ‘Utsaimiin, dalilnya adalah misalnya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya:
(“Sungguh Kelompok orang dari hamba-Nya yang takut pada Allooh سبحانه وتعالى adalah para ‘Ulama”).
Kalimat “Al ‘Ulama” adalah mutlak. Oleh
karena ia orang yang takut kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan itu dalam
kategori ‘Ilmu Syar’i. Sedangkan Ilmu tentang duniawi, misalnya ‘Ulama
At Tibb (Ulama Kedokteran), Ulama Ilmu Managemen, dll, tidak lah disebut
dengan Ilmu Syar’i.
Ilmu selain Ilmu Syar’i adalah media dan
jembatan seseorang mengabdi dan beribadah kepada Allooh سبحانه وتعالى,
bila perkaranya berkesesuaian dengan Syari’at. Sedangkan kalau dengan
Ilmu Syar’i, maka orang itu langsung beribadah kepada Allooh سبحانه
وتعالى.
Pertanyaan:
Apakah ada Hadits shohiih yang bertentangan dengan Al Qur’an ?
Jawaban :
Tidak ada Hadits shohiih yang bertentangan
dengan Al Qur’an. Bahkan ada Kitab khusus yang terdiri dari delapan
jilid yang ditulis oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
memberikan hujjah dan pembuktian bahwa Nash yang shohiih dan shoriih
tidak akan bertentangan dengan akal yang sehat. Itu menunjukkan bahwa
Hadits tidak ada yang bertentangan dengan Al Qur’an. Dan dengan akal-pun
tidak ada yang bertentangan.
Pertanyaan :
Bolehkah seseorang mem-Badal-kan haji ?
Jawaban:
Haditsnya shohiih, Rosuulullooh صلى الله
عليه وسلم ketika ditanya oleh salah seorang shohaby, ia meminta ijin
untuk mem-badal-kan haji ibunya, lalu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
bertanya: “Apakah kamu sudah haji?”. Orang itu menjawab: “Sudah ya Rosuulullooh”.
Maka Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Hajikanlah untuk ibumu”. Artinya boleh mem-badal-kan haji untuk ibunya. Anak terhadap orang tua, boleh mem-badal-kan haji.
Tentang hal ini menurut Fatwa para ‘Ulama
boleh seseorang mem-badal-kan haji, jika orang yang mem-badal-kannya
memenuhi syarat, antara lain ia sudah melaksanakan ibadah haji. Dan
orang tersebut benar-benar harus amanah.
Apakah tidak bertentangan dengan surat An Najm ayat 39? Tidak. Ayat 39: “Bahwa seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, maksudnya adalah: “Bahwa
seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain dan seseorang tidak
akan mendapat manfaat kecuali dengan apa yang telah ia perbuat.”
Haditsnya, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إن مما يلحق المؤمن من عمله بعد موته
Artinya:
(“Sesungguhnya diantara perkara-perkara ikut terbonceng seorang mu’min dari amalannya, setelah matinya”).
Maksudnya, ada perbuatan manusia yang
pahalanya mengalir terus-menerus sampai ia sudah meninggal masih
mengalir terus, memberikan manfaat kepada orang yang telah meninggal
itu. Itu hasil dari perbuatan semasa hidupnya, hasil amalannya.
Yaitu: Ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan,
anak yang sholih, mushaf Al Qur’an yang ia beli dan dibaca orang lain,
membangun masjid, membangun rumah untuk musafir, untuk Ibnu sabil, dll.
Atau sungai yang dialirkan untuk orang yang membutuhkan air. Maka semua
itu akan memberikan manfaat setelah orang yang beramal itu meninggal.
Dan lain sebagainya masih banyak lagi, ada tujuh macam.
Pertanyaan:
- Tentang yang berkenaan dengan Al Qiyani, Al Ma’azif dan As Sunnah, sekarang banyak acara-acara keagamaan (Islam) yang lalu ditampilkan Qasidah, dengan penampilan penyanyi wanita yang berpakaian seronok, maka apakah benar bahwa suara wanita itu juga merupakan aurat ? Dan bagaimana dengan penampilan Qasidahnya yang berlenggang-lenggok itu?
- Bagaimana dengan kesenian Marawis? Tari Japin (Orang laki-laki menari bersama orang laki-laki) yang berasal dari Timur Tengah?
- Benarkah berpakaian Gamis itu hukumnya Sunnah Rosuul ?
Jawaban:
- Secara etimologis (bahasa), Qosidah artinya Bait-bait Syi’ir. Orang yang membaca Syi’ir disebut Sya’ir. Dan membuat untaian bait-bait Syi’ir disebut Qosidah. Itu merupakan kebanggaan orang Arab jaman Jahiliyah. Namanya disebut: Al Mu’allaqotussab‘ah. (Tujuh yang digantungkan di dinding Kabah, zaman Jahiliyah).
Lalu zaman sekarang di Indonesia Qosidah
disebut nyanyian Padang Pasir. Bagi yang tahu, bahasa nyanyian-nya
bahasa pasar, bukan bahasa yang baik. Yang sebetulnya semuanya itu
musik, nyanyian, hukumnya haram. Allooh سبحانه وتعالى berfirman:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Artinya:
(“Jangan kamu lenggang-lenggokkan suaramu, sehingga akan menaklukkan orang-orang yang dalam hatinya terdapat penyakit” – Surat Al Ahzab). Maksudnya, Allooh سبحانه وتعالى melarang jangan melantunkan suaramu, nanti orang akan terfitnah.
- Marawis, kalau itu berupa Duf (rebana) maka yang seperti itu dibolehkan dalam pesta pernikahan. Tarian, yang tidak menimbulkan gerakan fitnah, maka itupun pernah terjadi ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم masih hidup.
- Gamis, berasal dari bahasa Arab: Qomisun, Qomis, artinya baju, kemeja, seperti orang Arab memakainya. Ada beberapa model. Itu semua adalah berkaitan dengan budaya dan situasi alam disana. Dan orang yang mengenakan baju semacam itu, ia harus memakai celana panjang didalamnya.
Dan itu tidak ada hukum Sunnah atau bukan. Yang penting adalah menutupi Aurat.
Sekian kajian kita mudah-mudahan ada manfaatnya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 2 Shofar 1428 H – 19 Februari 2007
sumber: http://ustadzrofii.wordpress.com/2010/06/18/tholabul-ilmi-mencari-ilmu/
sumber: http://ustadzrofii.wordpress.com/2010/06/18/tholabul-ilmi-mencari-ilmu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah untuk membagi ilmumu